Minggu, 05 Agustus 2012

"Renunganku"

"Rejeki Nggak Bakalan Ketukar"

Setiap kali saya pulang dari dari kantor (ITB) ke rumah di Antapani pada bulan puasa ini, sepanjang jalan mulai dari Gasibu terus ke Cicadas hingga sampai ke kompleks perumahan banyak sekali bermunculan pedagang dadakan yang menjual makanan untuk buka puasa. Ada yang pakai gerobak, ada yang menggelar meja di pinggir jalan, bahkan ada yang elit memakai mobil Avanza. Setiap lima meter pasti ada yang berjualan makanan yang serupa: kolak candil, sop buah, es buah, es cendol, rujak cuka, es dawet, es kelapa muda, gorengan, dan lain-lain.
Pedagang penganan buka puasa dadakan di Jalan Pusdai, Bandung
Banyaknya orang yang pulang kerja adalah sasaran mereka, ditambah dengan orang-orang yang menghabiskan waktu senja alias ngabuburit bahasa Sundanya. Pada pedagang itu dengan sabar menunggu pembeli yang lalu lalang melewati jalan. Satu dua motor atau mobil berhenti untuk membeli, lalu pergi.
Jumlah pedagang semacam itu bisa ratusan orang dalam jarak sekitar lima kilometer. Sebelah menyebelah dari pedagang itu menjual dagangan yang nyaris sama yaitu kolak. Ada yang ramai dikunjungi pembeli, ada yang agak sepi, dan ada yang cukupan saja. Yang saya lihat adalah para pedagang itu tetap sabar, sebersitpun tidak tampak kekhawatiran dagangannya tidak laku. Mereka yakin pasti ada yang akan membeli, pasti ada orang yang nyangkut dengan dagangan mereka. Nyatanya memang ada saja orang yang kepincut dan berhenti untuk membeli.
Keadaan yang sama dapat kita lihat di pasar-pasar tradisionil yang menjual barang kebutuhan sejenis seperti sandang dan pangan. Kedai yang sebelah menyebelah menjual barang yang sama. Ada kedai yang ramai dikunjungi pembeli, ada yang sepi-sepi saja. Tetapi kalau anda perhatikan tidak tampak keluh kesah di antara pedagang itu.
Kalau anda bertanya kepada para padagang yang sedang menunggu pembeli itu, apakah mereka tidak khawatir dagangannya tidak laku sehingga mereka tidak akan membawa pulang uang hari ini? Atau, apakah mereka tidak iri dengan dagangan sebelah yang laris, sedangkan dagangannya sepi. Jawaban mereka sungguh mengagetkan: PERCAYALAH, REJEKI NGGAK BAKALAN KETUKAR!
Jika pedagang ritel modern seperti supermarket dan swalayan tidak pernah khawatir toko mereka sepi pembeli (karena mereka sudah punya jaringan dan promosi yang kuat), maka para pedagang kecil itu hanya bermodalkan kepasrahan bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki dari Tuhan tidak akan “salah kamar”, tidak akan tertukar antara satu orang dengan orang lainnya, jadi kenapa harus khawatir?
Jawaban sederhana itu ada benarnya. Tuhan menciptakan manusia tidak dengan satu selera. Selera setiap orang tidak pernah sama, oleh karena itu pasti ada saja pembeli yang tertarik dengan dagangan si A, yang lain tertarik dengan dagangan orang di sebelahnnya. Masing-masing pedagang akan kebagian pembeli karena ketertarikan itu berbeda-beda.
Pada tataran yang lebih tinggi, yaitu iman, orang yang beriman meyakini bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Kita manusia ini ibarat seorang pedagang yang menunggu pembeli. Rezeki itu dikirim Tuhan melalui perantaraan pembeli, atau pemberi order, atau pengguna layanan. Jika anda seorang pedagang kemudian ada orang yang membeli dagangan anda dan bukan dagangan teman anda, percayakah anda bahwa Tuhanlah yang mengirimkan orang itu untuk membeli dagangan anda. Jika ada seorang pengusaha kemudian anda mendapat order dari seseorang, percayakah anda bahwa Tuhanlah yang mengirimkan orang itu kepada anda. Jika anda seorang pegawai lalu anda mendapat tambahan penghasilan (yang halal tentunya) karena anda mengerjakan pekerjaan ekstra, percayakah anda bahwa Tuhanlah yang mengirim pekerjaan ekstra itu kepada anda?
Jadi, manusia tidak perlu cemas dengan urusan rezeki. Rezeki setiap makhluk sudah dijamin oleh Allah SWT, termasuk rezeki seekor semut sekalipun.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. Dan Dia meengetahui tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Hud: 6).
“Dan berapa banyak binatang yang tidak menanggung rezeki-Nya, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya (kepada binatang) dan kepadamu (para manusia ), dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ankabut: 60)
”Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan selain Dia, maka betapa kamu bisa dipalingkan?” (Al-Fathir: 3)
Tentu saja kepasrahan tentangt rezeki itu bukan kepasrahan yang pasif. Manusia tetap harus berikhitiar dan berusaha untuk mencarinya, lalu sesudah itu bertawakal kepada-Nya. Pada contoh pedagang kolak di atas, mereka sudah berikhitiar mengharap rezeki dengan berjualan penganan berbuka puasa, selebihnya bertawakal dan berserah diri saja kepada Allah SWT, biarlah Allah saja yang mengatur siapa yang didatangi oleh pembeli, siapa yang dikunjungi oleh pembeli yang lain, dan seterusnya.
Bahkan, rezki dari Allah SWT itu datang dari arah yang tidak disangka-sangka selama manusia selalu memohon ampunan (beristighfar) kepada Allah SWT.
“Barang siapa memperbanyak istighfar maka Allah s.w.t akan menghapuskan segala kedukaannya, menyelesaikan segala masalahnya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abdullah bin Abbas r.a.)
Itulah misteri rezeki, karena itu kita tidak perlu khawatir akan kekurangan, karena Allah SWT sudah menjamin rezeki itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar